Angka Kemiskinan
Setiap kali BPS merilis angka kemiskinan pasti timbul perdebatan yang cukup panas. Jumlah dan standar kemiskinan yang dikeluarkan BPS menjadi bahan perdebatan. Para pengamat selalu membandingkan angka kemiskinan BPS dengan angka kemiskinan versi Bank Dunia yang jauh berbeda. Seringkali angka versi Bank Dunia jauh lebih besar daripada angka penghitungan BPS. Hal inilah yang menyebabkan beberapa pengamat meragukan angka kemiskinan BPS yang dianggapnya penuh manipulasi dan hanya memenuhi pesanan pemerintah.
Perbedaan estimasi BPS dan Bank Dunia memang tak bisa dihindari karena adanya perbedaan standar pengukuran. Kedua lembaga tersebut mempunyai kriteria tersendiri dalam menentukan seseorang miskin atau tidak. Menurut BPS seseorang dikatakan miskin bila nilai konsumsinya kurang dari 2100 kkal/orang/hari ditambah kebutuhan primer non makanan. Sedangkan Bank Dunia memakai ukuran USD 2 PPP (purchasing Power Parity) artinya dengan 2 dolar dibelanjakan di Amerika maka dihitung setara dengan rupiah jika barang dan jasa diperoleh di Indonesia. Ukuran ini sering dipahami secara salah yaitu sebagai exchange rate(kurs).
Hal lain yang perlu diketahui adalah sumber data yang dipakai dalam penghitungan penduduk miskin oleh Bank Dunia. Selama ini lembaga tersebut tidak melakukan survai sendiri dalam memperoleh data kemiskinan. Data-data tersebut diambil dari BPS yang melakukan survai melalui model susenas. Jadi data mentah yang dipakai sesungguhnya sama antara Bank Dunia dan BPS. Kalau akhirnya muncul perbedaan, itu hanya karena perbedaan kriteria saja yang berakibat memunculkan angka yang berlainan.
Terlepas dari perdebatan besarnya penduduk miskin yang ada, misalkan diambil yang paling kecil maka ada sekitar 30 juta saudara-saudara kita yang hidup dalam kekurangan. Seandainya pemerintah setiap tahun mampu mengurangi penduduk miskin 2 juta orang tiap tahun maka dibutuhkan waktu paling tidak 15 tahun untuk mengentaskan saudara kita tersebut. Itu terjadi bila semua dianggap konstan. Padahal setiap tahun muncul angkatan kerja baru dan mereka sulit tertampung di dunia kerja karena memang lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja. Akhirnya muncul pengangguran-penggauran baru yang ujungnya hanya akan menambah penduduk miskin.
Tanpa usaha yang radikal dan komprehensif akan sulit mengentaskan penduduk miskin di negeri ini. Sebaiknya semua komponen bangsa bersatu untuk mencari jalan keluar yang mujarab agar kemiskinan segera bisa dikurangi dan semua rakyat bisa menikmati hasil pembangunan. Perdebatan kriteria dan jumlah penduduk miskin tidak harus sampai berkepanjangan tetapi solusi yang akan mengakhiri keadaan ini yang paling utama.